MINDSET PENGELOLA INVESTASI

943958_955493854528743_4872623931646234587_n

Pastikan Anda sudah membaca artikel “Kerjasama Investasi”, agar gak ‘jet lag’.

Saya paling tidak mau invest kepada ‘kutu loncat’, mentoring mereka pun tidak. Karena ‘kutu loncat’ yang gak fokus, masih dalam fase ‘ababil’, belum bisnis beneran. Bagi saya bisnis bukan sekedar membuat keuntungan, tapi membangun nama baik dan menjadi saluran rejeki bagi orang-orang dibawah dan sekitar kita. Dari perjalanan berbagi (sharing) dan mengamati para pengusaha pemula, mereka yang gagal mayoritas yang mendapatkan pendanaan untuk memulai usaha. Maka dari itu saya sangat tidak setuju dengan “Program Sarjana Wirausaha” atau sejenisnya. Mereka yang memulai usaha ‘harus’ dimodali dahulu, baru buka, akan menumpulkan daya juang dan kreativitas mereka.

 

Apalagi jika dananya ‘semi hibah’ alias, balik syukur, gak balik ya gak papa. Emang dana siapa itu? Ya dana pajak yang Anda bayar dan dihamburkan dalam program yang tak tepat guna. Serupa dengan dana dari investor, memodali seseorang yang belum pernah bisnis (sendiri) sebelumnya. Maka dari itu, jika ditanya kawan-kawan TKI, “Mas J, saya punya tabungan, bagusnya saat pulang belikan tanah/rumah atau buat usaha dahulu?”. Saya jawab, “Sisihkan 5 – 10 juta buat usaha, sisanya investasikan ke tanah dan emas”.

 

“Tapi Mas J, kan saya mau buat warung bakso, hitungan saya, keperluannya sekitar 70 jutaan”.
Iya, bener, 70 juta kalo Anda bayar tunai semuanya. Kalau negonya jago, Anda bisa bayar mundur. Kedua, jika Anda hanya memegang 5 juta saja, Anda akan cenderung berhemat dan mempersiapkan dengan cermat, agar saat buka, langsung laris.

 

“Lha kan Mas J ngajarin jangan ngutang selain pakai agunan?”.
Nah, tadi kan ada tanah yang udah kebeli yang bisa diagunkan atau saham warung baksomu atau gerobaknya dibalikin kalau gak bisa melunasi. Beres kan?!

 

“Kenapa gak dibayar lunas aja?”.
Boleh aja, tapi nanti Anda gak belajar negosiasi. Kalau sudah berlebih, silakan bayar tunai semua. perhitungan dengan praktek sering melesetnya. Cadangkan uang Anda untuk kondisi meleset. Sedia sekoci sebelum tenggelam.

 

“Kalau kasusnya gak punya modal, apa agunannya?”. Agunannya ya gerobak yang belum lunas tadi itu, dibalikin, sisanya kredibilitas. Hutang bisnis itu wajar, asal ngukur kapasitas. Jika bangkrut pun, masih mampu dibayar kemudian. Bangkrut (yang benar) itu terjadi karena kita lompat melebihi kapasitas sebelumnya. Kalau menaikkan kapasitasnya tak terlalu drastis, tak membuat cidera yang fatal, palingan lecet-lecet. Kalau terlalu drastis, sampai patah tulang, ya susah bangkitnya. Maka dari itu, ukurlah kapasitas Anda.

 

Pada artikel “Mindset Investor” saya tuliskan bahwa kegagalan dalam investasi, kebanyakan disebabkan:

  • Ketidak jujuran pengelola.
  • Tidak fokus.
  • Kurang ilmu atau pengalaman, hingga salah perhitungan atau strategi.
  • Bisnis yang sudah sunset.
  • Kurang kontrol dan atau kecolongan keuangan.
  • Musibah atau force majeur.

 

Jika sudah bicara ‘kejujuran’ dan tidak fokus, segera insaflah dan itu masuk kategori kesalahan Anda mutlak, yang harus dibayar. Fokus adalah harga mati yang tak bisa ditawar. Selengkapnya sudah saya tuliskan juga di materi “Buat Calon Pengusaha dan Pengusaha Pemula”.

 

Kurang ilmu atau pengalaman?

Makanya jangan lompat jauuuuh melebihi kapasitas Anda. Jika kapasitas Anda 100, Anda lompat 120 atau 150, masih bisa dicover saat jatuh, meski tentu membutuhkan waktu. Jika Anda melompat ke 1000, maka kebangkrutan itu bisa menenggelamkan Anda sendiri. Ukurlah kapasitas, jangan ambisi berlebih yang buntutnya mencederai diri Anda dan orang lain.

 

Bisnis Sunset?

Hal ini juga sering dipaksakan, padahal sudah tahu trennya menurun atau kompetisinya terlalu tinggi. Jika suatu bisnis gampang dijalankan, modalnya relatif kecil, resiko kecil, untung gede, tentu para ‘semut’ akan berduyun-duyun membuka yang serupa. Jadi komoditas deh.. Membuka suatu bisnis yang terlalu besar di konteks (atmosfer), bukan kontennya, juga beresiko tren sesaat, tak lekang oleh waktu.

 

Kurang Kontrol?

Saya juga termasuk yang sering kena penyakit ini. Belajar dari situ, saya punya aturan, kalau investor sudah masuk, keuangan harus super ketat dan rapi. Toh ada duitnya untuk bayar orang profesional. Manajemen mungkin tak bisa menghapus kebocoran, tapi bisa meminimalisir kebocoran.

 

Musibah atau Force Majeur?

Perhitungan kita jangan sampai membuat kita takabur, seolah mengabaikan ‘Faktor Langit’. Sekali (variable) cuaca berubah, (variable) sifat manusia berubah juga, bencana pun terjadi. Maka dari itu, jangan persuasi investor berlebih, nanti tanggung jawab kita akan berlebih. Setidaknya jika kita sudah apa adanya, gak muluk-muluk saat presentasi dan mengemukakan semua resiko yang ada, beban akan ditanggung bersama investor. Investor rugi duit, pengelola rugi waktu dan tenaga. Keduanya untung pengalaman..!!

 

Tambahan 2 lagi, yang tak menyebabkan kebangkrutan langsung, tapi kerap terjadi di pengelola:

Keserakahan; Mau duit investor saat butuh, kalo udah gak butuh, cari perkara untuk ‘nendang’ atau cari pembenaran untuk ‘nelikung’..!! Sungguh nista yang satu ini..

Lari dari tanggungjawab; Hampir semua (bukan kebanyakan lagi) pengusaha yang gagal mengelola, kabur atau menyalahkan, tak mengambil tanggung jawab. Hape mati atau susah dikontak. Justru itu yang membuat investor semakin jengkel. Saat saya bangkrut, saya hadapi baik-baik dan bicara apa adanya. Kadang mereka tak percaya atau tak mau tahu, tapi ada juga yang mengatakan, “Apa yang Mas J berikan ke aku udah lebih dari itu. Taruh aku di urutan paling belakang.” >> Saya sudah bersumpah, jika urusan saya beres semua, akan saya balas kepercayaan dia. Apakah semua mulus jika dihadapi? Gak juga, masih ada juga yang sampe urusan hukum (perdata). Ya dihadapi dengan etika yang baik.

 

Itulah sebabnya saya saat ini menghindari investor perorangan yang duitnya pas-pasan apalagi ngutang >> ini bom waktu. Mending masuk ke jalur perdata, aset disita, perusahaan dipailitkan, daripada hubungan dengan kawan jadi renggang.

 

Ringkasan Pesan sebagai Pengusaha Pengelola Investasi adalah:

1. Pilihlah bisnis yang potensial, bukan berdarah-darah.

2. Terbuka, jangan ada yang ditutupi dan persuasi berlebih untuk mendapatkan dana cepat. Pahit di depan, manis di belakang, bukan sebaliknya. Gak mau? Ya cari yang lain.

3. Fokus adalah harga mati seorang pengelola usaha, kecuali jika sudah tersistem dan dikerjakan profesional. Dan beneran tersistem, bukan ngaku-ngaku auto pilot, tapi pilot-pilotan.

4. Meski dimodali (besar) oleh investor, anggap Anda tak punya modal sama sekali. Jagalah cashflow dengan ketat.

5. Berhematlah dan tahu dirilah sebelum perusahaan membuat keuntungan dan balik modal.

6. Anggap itu adalah uang atasan Anda, yang diawasi KPK, bukan uang Buapak Anda yang gratis.

7. Keseriusan Anda dalam memperjuangkan bisnis adalah kredibilitas.

8. Carilah mentor pendamping, kalau ada yang di bisnis serupa, yang skala bisnisnya lebih besar.

9. Bertanggung jawablah saat musibah terjadi. Jangan lari atau matikan hape. Hadapi, karena kredibilitas Anda lebih berharga dari uang tersebut.

10. Jadilah “kacang yang tak lupa dengan kulitnya”, ingatlah siapa orang yang mempercayai Anda saat Anda bukan siapa-siapa.

 

Jika musibah terjadi, kadang mereka tetap memaki. Telanlah makian itu sebagai vitamin dan simpan dalam memori untuk lebih hati-hati. Setiap keputusan ada konsekuensi. Setiap bisnis ada resiko rugi. Jadikan semua sebagai pembelajaran. Jika toh harus mulai dari nol lagi, ilmu, pengalaman dan kredibilitas Anda tak mulai dari nol. Bisa jadi kegagalan itu adalah ujian kepantasan Anda yang sesungguhnya, untuk mendapatkan yang jauh lebih besar. Kualitas seseorang diketahui saat dia terkena musibah, menyalahkan, lari dari tanggung jawab atau menghadapinya dengan segala resiko.

Komentar

About Author

Jaya Setiabudi

Bukan ustad, bukan motivator, juragan ajah.. | Pengarang buku best seller The Power of Kepepet & Kitab AntiBangkut | Pendiri Young Entrepreneur Academy | Owner Yukbisnis.com | Pengusaha dengan jam terbang lebih dari 15 tahun | Contact person: 082121204555

Attachment