PANTASKAH AKU….?
Pasca kebangkrutan pertama di tahun ’98, saya memulai usaha serupa (industrial supply) yang kedua di awal tahun ’99. Selang sebulan setelah menjalankan bisnis single fighter, saya merekrut karyawan pertama saya, bernama Siti Yani. Tugas Yani adalah membantu saya mengurus administrasi ke supplier dan klien, saat saya keluar ‘nyales’. Kala itu, internet belum secepat sekarang, masih jaman ‘dial up‘. Jadi, berkirim penawaran harga masih via fax.
Yani sangat baik dan sabar, hanya saja dia kurang teliti. Sedangkan saya termasuk orang yang perfeksionis dan emosional. Ketika Yani berbuat salah berulang, terutama kesalahan dalam pemberian harga jual, maka emosi saya memuncak. Kata-kata kasar pun terucap, sambil melempar ‘tip-ex‘ ke dinding samping meja Yani, “Guoblokk..!! Lain kali yang teliti..!! Salah terus, salah terus..!!”. Yani hanya meminta maaf dan melanjutkan pekerjaan.
Malam harinya saya merenungi tindakan saya, sambil bertanya pada diri sendiri, “pantaskah” aku, sebagai seorang pemimpin, (berperilaku) seperti ini?”. Saya sedih dan menyesal atas tindakan saya.
Keesokan harinya, saya menyambangi Yani dan berkata, “Yan, aku minta maaf. Semalam aku salah, marah-marah sama kamu”. Yani hanya tersenyum tulus dan berkata, “Yani yang minta maaf, Mas. Yani koq yang salah, ceroboh.”
Sayang sekali siang hari Yani kembali membuat kesalahan yang berulang. Saya tak bisa mengontrol diri dan lagi, “Gobloookkkk..!”, ntah apa yang saya lempar saat itu. Jika ayah saya ada disitu, maka bisa dipastikan ayah saya akan berkata, “Barang gak salah, koq dilempar..!”.
Malam harinya…. kembali saya merenung, menyesal, menanyakan pada diri, lagi, “pantaskah” aku, sebagai seorang pemimpin, seperti ini?”. Keesokan pagi, saya kembali meminta maaf kepada Yani. Seolah ‘looping‘, berulang dan berulang, tanpa perubahan.
Hingga suatu malam, saya bergumam, “Apa solusinya? Masak mau seperti ini terus? malu sebagai pemimpin seperti ini..!”. Kemudian saya melirik ke rak buku saya, yang hanya tersandar 2 buku:
How to win friends, pemberian senior saya di Astra.
Seven Habits of Highly Effective People, buku wajib dari Astra.
“Mungkinkah ini jawabannya?”, sambil memegang buku ‘Seven Habits‘. Buku How to win friends sudah saya khatamkan sebelum hari pertama ‘nyales’. Sebenarnya saya sudah mendapatkan training ‘7 Habits‘ saat di Astra, hanya saja saya terlelap, karena bosan dengan pematerinya.
Terus terang, saya paling malas baca, penginnya langsung pinter, tapi orang Jawa bilang, “Opo tumon?”. Saya paksakan membaca malam itu juga. 10 menit berlalu, 1 halaman pun tak saya pahami. Pikiran saya melamun ke dunia lain, alias pecah fokus. Saya ulang lagi dari awal, gak sampai 20 menit, saya ngantuk. Gagal belajar.
Esok harinya, saat ‘panggilan alam’ di WC, saya bawa buku itu dan paksakan membaca. Alhamdulillaah… masuk, paham, meski hanya mampu bertahan fokus 2 lembar (4 halaman) saja. Karena setelah itu, pikiran melayang lagi. #flushing
Setiap pagi saya paksakan diri untuk membaca meski hanya 2 lembar saja. Seperti pesan om guru saya, “Baca buku dari awal, mulai dari pendahuluan, jangan lompat-lompat..!”.
Setelah menyelesaikan bab-bab pendahuluan, masuklah ke pembahasan habit (kebiasaan) pertama: be proactive. Nah, ini nih yang saya cari, untuk menjadi obat bagi emosional saya yang tak terkontrol. Sejak saat ini, saya mulai belajar mengontrol emosi saya. Meski sempat juga adu jotos (lebih pas: saya yang njotosi) dengan loper koran di samping ruko, ehek ehek. #parah
Sebelum menikah saya berjanji kepada diri dan istri, bahwa saya tak akan berkelahi lagi dan akan lebih mengontrol diri. Dan hal itu saya pegang hingga sekarang, 16 tahun sudah.
Pertanyaan itu masih sering saya gunakan untuk mengoreksi diri saya, dengan subyek yang berbeda:
Pantaskah aku, sebagai pemimpin, berperilaku seperti ini?
Pantaskah aku, sebagai ayah, berperilaku seperti ini?
Pantaskah aku, sebagai suami (pimpinan keluarga), berperilaku seperti ini?
Pantaskah aku, sebagai pendidik, berperilaku seperti ini?
Pantaskah aku, sebagai panutan, berperilaku seperti ini?
“Pantaskah aku…?”
Saya bukan orang baik, tapi saya berusaha menjadi lebih baik setiap harinya. Mengalahkan ‘gengsi‘ saya dalam ‘meminta maaf‘, saat bersalah dan berusaha memantaskan diri. Karena jika saya masih memegang ‘gengsi’ saya, maka saya tak pantas sebagai seorang pemimpin yang bijak. Bahkan tak pantas memimpin binatang sekalipun..!
“Diantara stimulus (kejadian) dan respon, ada ruang jeda… dimana kita bisa memilih respon kita.” ~ Stephen Covey, 7 Habits.

Komentar