TAKE ME AS YOUR BRO
Saat pertama disebut ‘guru’ di medsos, spontan saya berkata, “Aku bukan guru, juragan ajah..!”. Sampai hal itu berulang dan berulang, akhirnya kudiamkan saja. #capek Tak pernah terfikir sekalipun, sejak pertama berbagi, untuk disebut sebagai ‘guru’. YEA, sekolah bisnis yang saya dirikan pun, para siswa lazim mengundang saya dengan sebutan ‘Mas J’. Lebih nyaman dan aman bagi saya. Nyaman karena informal, aman dari sifat sombong. Tim (karyawan) saya juga kebanyakan mengundang saya ‘Mas J’. Asik kan, muda terus..!
“Terus kenapa Mas J mbuat sekolah, kalau gak mau disebut ‘guru’?” >> Gak ada rencana mendirikan sekolah bisnis, mengalir sesuai kebutuhan kawan-kawan dan ‘aha’ saya waktu itu. Bahkan gak mikir untung saat pertama buka. 14 siswa angkatan pertama, hanya 2 yang lunas, he he. Anyway, guru beda dengan ‘pendidik’. Kadang saya malah iri dan ikutan ‘ngomel’ saat para alumni berwisata bersama, tanpa memberitahu saya. Senang rasanya saat bisa nobar dan hang-out bersama mereka, tanpa ada batasan. Formalitas membunuhku..!
Lagian dalam bisnis, tak ada ‘kasta’ atau kepangkatan. Mereka yang kaya hari ini, besok bisa jadi bangkrut. Apa yang mau disombongkan?! Saat inipun, banyak anak muda yang penghasilannya miliaran perbulan dari internet. Maha guru donk mereka..?!
Mentor Bukanlah Profesi
Ada yang bertanya, “Mas J, kalau aku ikut ECamp, apa aku bisa mentoring dengan Mas J personal setelah itu?”. Saya jawab, “Gak janji.”. Kemudian ia mengejar, “Kalau aku ikut YEA, apa aku bisa mentoring personal dengan Mas J?”. Saya jawab, “Gak janji juga.”.
“Terus, apa syarat bisa mentoring dengan Mas J?”, tanyanya ngeyel.
“Gak ada syarat. Kalau aku seneng dan pengin, yuk kita ngobrol.”
Anda boleh menilai saya sombong, tapi ya emang saya tak mau terikat ‘jabatan’ sebagai mentor, karena emang saya tak dibayar dan tak mau dibayar sebagai mentor. Gak perlu juga mengundang dengan sapaan ‘mentor’. Kan bukan profesi..?! Alumni ECamp juga disebut brotherhood alias persaudaraan.
Menulis pun sesekali, bukan ngejar setoran. Perhatikan saja frekuensi tulisan saya, pasti tak beraturan. Saat luang dan keluar inspirasi, saya tuliskan, tapi belum tentu saya posting di medsos. Hanya jika sudah dirasa ‘layak’, barulah saya posting. Karena tanggung jawab moralnya besar. Tak heran jika buku saya terbit minimal 2 tahun sekali. Berbagi adalah kebutuhan saya, seperti buang air besar, tak perlu menunggu kaya raya. Namun demikian, saya juga tak mau ‘terbebani’ saat berbagi. Kalo buang air terus, kurus donk..
Selalu Pemula
Variable dalam bisnis sangatlah kompleks dan ada faktor ‘takdir’ disana. Seorang praktisi bisnis dengan puluhan tahun jam terbang pun tak menjamin keberhasilan bisnisnya. Apalagi datangnya gelombang internet yang mengubah peta bisnis semena-mena. Maka dari itu, seorang praktisi bisnis seyogyanya tak pernah meng-claim dirinya sebagai ‘guru’ atau ‘pakar’. Kecuali ‘pakar’ adalah profesinya.
Wajar seorang pebisnis bangkrut, selevel triliuner sekalipun. Yang tak pernah bangkrut adalah ‘pakar’ yang tak pernah membuka usaha. Keberhasilan bisnis seseorang juga tak dapat diukur dari pencapaian profit ataupun aset yang dimiliki. Sukses adalah kata yang nisbi, tolak ukurnya bergantung dari value yang digunakan. Kebanyakan orang menilai Pengusaha Sukses adalah pengusaha yang masuk dalam deretan orang terkaya. Tak peduli berapa orang yang dikorbankan, keluarga yang berantakan, berkah atau tidak bisnisnya.
Semakin lama berbisnis dan berbagi, semakin saya sadar betapa kecilnya ilmu saya dibanding hukum alam yang Allah turunkan. Panggilan ‘Mas’ lebih nyaman dan tanpa ‘kasta’ atau ‘level’. Toh levelku juga masih pemula. Yuk kita ngupi-ngupi aja, daripada ngomong bisnis terus. Bosen ahh..!
Take me as your brother.
Bukan ustad, bukan motivator, juragan ajah..!

Komentar