BENAR MENURUT SIAPA..?

Orang bilang, ”Waktu akan mengubah seseorang”. Ada yang berkomentar benar, jika waktunya dipakai dengan penuh aktivitas, belajar dari kesalahan dan mau berubah. Ada juga yang berkomentar salah, karena ia merasa tidak mendapatkan perubahan dalam dirinya. Atau bahkan ada yang berkomentar, ”Mengapa aku harus berubah? Wong tidak ada yang salah pada diriku?”. Saya pribadi mendapatkan perubahan dari pelajaran-pelajaran yang saya alami.

Suatu saat di akhir tahun 2002, ada suatu kejadian yang sangat tidak mengenakkan. Warung makan saya (sudah ‘almarhum’) didatangi oleh dua orang yang mengaku ‘mantan bos’ (sebut saja MB) dari seorang karyawan (juga partner) saya. MB yang biasanya menjadi pelanggan di warung makan saya, tiba-tiba datang meminta seperangkat komputer yang ada di lantai 2 warung makan. Katanya, komputer itu adalah miliknya, yang dipinjam oleh rekan saya.

Saya telah mengeluarkan sejumlah uang yang saya titipkan ke rekan saya untuk membeli seperangkat komputer itu. Karena sama-sama mengaku memiliki, saya menyarankan kepada MB untuk menunggu kedatangan rekan saya yang saat itu sedang di Bogor, untuk memberikan klarifikasi. Namun tidak semulus itu proses negonya.

MB bersikeras mengambil komputer saat itu juga. Saya mencoba nego dengan cara yang lain, yaitu menanyakan bukti kepemilikan komputer itu. Eh, dia malah berbalik tanya, bagaimana dengan kwitansi pembelian yang saya miliki. Ember, saya juga tidak memegangnya saat itu, karena saya percayakan kepada rekan saya sebagai direktur. Perundinganpun berlangsung alot, hingga otot leher kita saring mengeras. Berujung MB mengancam akan melaporkan saya ke polisi.

Dasar karakter saya, semakin ditantang, semakin saya ladeni, ”Panggil aja polisi kesini!!!”

Berlanjut ke kantor polisi…

Yah begitulah, keesokan harinya serombongan polisi mendatangi warung makan saya dan mengambil seperangkat komputer, yang tadinya dipakai untuk usaha desain grafis kita. Tidak berhenti sampai disitu, sore harinya, sayapun mendapatkan panggilan polisi sebagai ‘saksi’. Namanya orang buta hukum, langsung saja datang menemui, tanpa didampingi pengacara. Apes bener, yang tadinya ‘saksi’ eh, diplesetkan jadi ‘tersangka’ penadahan pula.

Singkat cerita, semuanya berakhir dengan damai atas prakarsa pihak ketiga. Pertanyaan saya, siapa yang benar dan salah menurut Anda? Kawan-kawan saya, tentu saja membela saya, ”Kurang ajar tuh orang, mentang-mentang kenal aparat, melaporkan seenaknya.”.

Bagaimana seandainya Anda di posisi MB? Apa yang Anda pikirkan? Mungkin seperti ini, ”Wong jelas-jelas itu komputer saya yang punya, koq ambil seenak udelnya!”. Mungkin juga MB berfikir,”Keadilan harus ditegakkan!” Bisa jadi lho, dia berfikir seperti itu? Peduli setan saat itu dia mikir apa, kejengkelan saya telah memuncak, karena telah mengancam kesehatan Ibu saya dan membuat kesedihan yang sangat pada istri saya.

Saking kalapnya, saya mencari ‘orang pinter’ untuk menyantet MB! Saya ‘lakoni’ puasa 3 hari dengan bacaan (wirid) ribuan kali. Di hari ketiga, saat terakhir saya harus melakukan ‘pukulan’ secara metafisika, mendadak saya berfikir dan menanyakan pada diri saya sendiri, ”Jaya, apakah kamu seorang pembunuh?” Entah malaikat mana yang datang pada diri saya, hingga bertubi-tubi pertanyaan ada di benak saya.

Salah satu pertanyaan yang mengena pada diri saya, ”Jaya, coba pikirkan, jika hari itu kamu tidak menanggapi dengan emosional perkataan MB, pasti dia tidak akan lapor ke polisi. Toh, terbukti memang itu komputer MB yang diambil rekanmu, meskipun kamu sudah kasih uang ke rekanmu”.

Dari hasil ‘perenungan’ itu saya membuat dua kesimpulan.

Pertama: “Bukan masalah yang menjadi masalah, tapi respon saya dalam menghadapi masalah yang seringkali menimbulkan masalah yang baru!”

Kedua: ”Semua orang merasa dirinya benar dan tidak suka disalahkan!”

Tentu saja kesimpulan itu benar menurut saya lho, mungkin tidak menurut pemikiran Anda. Bomber Imam Samudra-pun sampai merasa dirinya benar, meskipun secara hukum dan peri kemanusiaan salah. Seorang maling ayam juga merasa dia tetap pahlawan bagi keluarganya. Suku Indian Amerika juga meng-claim tanah yang ia duduki adalah warisan dari dewa. Coba amati kembali perselisihan yang Anda pernah alami dengan orang lain. Jika Anda di ‘posisi’ dia (yang bermasalah dengan Anda), apa yang ia pikirkan terhadap Anda? Jika perlu, ubah posisi duduk /berdiri Anda ke posisi yang lain untuk memudahkan Anda membayangkannya. Apa alibi yang dia akan ungkapkan? Apa kira-kira pandangan dia terhadap Anda?

Saat saya menyampaikan materi ini, ada yang bertanya, ”Mas J, terus bagaimana sikap kita terhadap orang yang menipu saya (red: menurut dia)? Apakah saya harus memaafkan dia, kemudian membiarkan dia mengambil hak saya tanpa hukuman?”. Nah, harus dibedakan antara ‘memaafkan’ dan ‘menegakkan hukum’. Karena jika kita biarkan orang berlaku semena-mena (secara hukum) kemudian kita abaikan begitu saja, ditakutkan akan terjadi pengulangan tindakan mungkin ke orang lain.

Yang terbaik (menurut saya lho), lihat situasi dulu. Jika memang tindakan hukum harus kita lakukan, yang penting bukan untuk melampiaskan ‘kebencian’, tapi untuk membuat jera si pelaku dan peringatan bagi yang lain, silakan! Jika dia bisa jera, tanpa harus dihukum, yaa lebih baik lagi khan? Alangkah indahnya jika hidup tidak memiliki musuh. Lebih indah lagi, jika kita mampu mengubah permusuhan menjadi persahabatan. Itupun menurut saya, mungkin Anda berfikiran lain…

Peace!

Komentar

About Author

Jaya Setiabudi

Bukan ustad, bukan motivator, juragan ajah.. | Pengarang buku best seller The Power of Kepepet & Kitab AntiBangkut | Pendiri Young Entrepreneur Academy | Owner Yukbisnis.com | Pengusaha dengan jam terbang lebih dari 15 tahun | Contact person: 082121204555