GENGSIMU DISINI

Sewaktu masih duduk di bangku SMP, saya pernah meminta sepatu kepada Ayah saya.

Saya : Pah, mau beli sepatu, yang lama udah rusak.
Papah : Ya beli aja di Bata.
Saya : Yaah, koq di Bata lagi Pah. Kan modelnya kuno, mereknya juga gak terkenal. Pengin beli Nike, lagi tren sekarang.
Papah : Bata terkenal, awet dan murah Ya’ (panggilan saya di rumah).
Saya : Tapi temen-temen lainnya pada pakai merek Nike, Adidas, gitu Pah. Gengsi kan..?!
Papah : Ya’…, gengsimu gak dinilai dari sepatumu, tapi dari ini (sambil menunjuk kepala) dan ini (menunjuk hati).

Jika Anda bertanya bagaimana saya mendidik anak-anak saya, ya saya cukup meniru almarhum ayah saya. Alhamdulillaah saat mencari ‘jodoh’, saya pun menerapkan kriteria wanita idaman saya haruslah sederhana alias Gak Matre.

Sempat mau jadian dengan seorang wanita, kemudian dalam percakapan dia mengatakan, “Kalau aku nikah, pengin bulan madu di Paris”. Langsung mundur frontal saya, hehe.

Sebaliknya (calon) istri saya dahulu mengatakan, “Belum punya rumah sendiri gak papa, ngekos juga boleh, yang penting bersama”. Langsung klepek-klepek saya.

Yang saya heran tuh, saat seorang lelaki mencari calon istri dengan iming-iming harta, fancy resto, barang bermerek, pantaslah jika yang nempel adalah cewek matre. Kalo emaknya anak-anak udah matre, bagaimana cara dia mendidik, sudah bisa ditebak hasilnya. Jadi, pilihlah calon emaknya anak-anak dengan cara yang baik dan benar.

KONSUMERISME BERLEBIH

Ayah saya pernah berpesan, “Boleh nambah (makanan) asal dihabiskan. Papah gak suka orang buang-buang makanan”. Suatu saat (masih SD), saya pesan mie goreng dari penjual yang lewat depan rumah. Karena enak, saya pun minta nambah seporsi lagi. Ayah bertanya, “Abis Ya’?”. Saya jawab, “Abis Pah”.

Ternyata baru setengah makan, saya tak kuat menghabiskan. Ayah datang mengambil mie goreng saya dengan sendok dan ‘mendublak’ (menyuap dengan paksa) mie ke mulut saya sampai nangis teriak-teriak. Ayah saya berkata, “Papah udah bilang, jangan pesan kalo gak (bisa) habis. Lain kali JANGAN SERAKAH..!”.

Peristiwa itu masuk ke bawah sadar saya, bukan sebagai trauma yang membuat saya dendam ke ayah saya, tapi justru sebaliknya saya bersyukur belajar hal itu. Ayah saya hanya marah saat kami SD saja. Setelah SMP, kami tak pernah dimarahi, tapi diajak dialog. Karena dianggap pola fikir kami telah terbentuk. Meski begitu, saya tak setega itu terhadap anak saya .

Di rumah kami, jarang berlebih makanan, dari apa yang kami beli. Biasanya berlebih karena dikirimi oleh kawan-kawan alumni atau Yubiers. Itupun segera terdistribusi ke markas Yukbisnis. Saat berkunjung ke luar kota, saya akan berpesan ke ‘adik-adik’ saya, “Kalau aku mau, aku akan bilang ke kamu. Dan belikan aku sesuai (jumlah) yang kuminta, jangan berlebih. Nanti mubazir, basi di kamar (hotel)”.

Alhamdulillah, anak-anak kami juga ‘belajar’ makan secukupnya dan di tempat yang biasa saja. Kami beneran ‘gak tega’ makan di resto yang mahal, jika masih ada pilihan di pinggiran atau warung makan yang lebih enak. Prinsip kami: Cari makan yang enak, bukan gengsi. Keseharian di rumah juga langganan katering lauk senilai 80 ribu perhari. Nasi masak sendiri. Cukup untuk makan sekeluarga (5 orang). Jika kurang, tinggal beli lauk di sekitar komplek atau istri saya masak ringan.

Maka dari itu, saat saya bangkrut pun, keluarga tak akan kaget dan tak perlu mengubah pola hidup, karena sudah terbiasa makan ala kadar.

Hemat atau Kikir kah itu? Anda boleh menilai saya, tapi saya gak peduli penilaian Anda. Seperti kata guru saya, Om Bob, “Emang gue pikirin..!”.

Doa terbaik untuk guru dan ayah tercinta, Untung Setiabudi. Semoga ajaran kebaikanmu menjadi deposito amal yang membebaskan siksa kuburmu. Al Fatihah..

Komentar

About Author

Jaya Setiabudi

Bukan ustad, bukan motivator, juragan ajah.. | Pengarang buku best seller The Power of Kepepet & Kitab AntiBangkut | Pendiri Young Entrepreneur Academy | Owner Yukbisnis.com | Pengusaha dengan jam terbang lebih dari 15 tahun | Contact person: 082121204555

Attachment